Wednesday 13 January 2016

Merayakan Tahun Baru Islam & Lebaran Anak Yatim, Bolehkah?

Merayakan Tahun Baru Islam & Lebaran Anak Yatim, Bolehkah? epssub.blogspot.com - Ini yg sejak dulu menjadi perdebatan, tentang perayaan tahun baru Hijriyah. Bagi kebanyakan orang di Indonesia, perayaan semacam ni sudah biasa dan sudah menjadi program nasional. Ada yg mengisinya dgn semacam tabligh akbar, ada jg dgn pawai keliling kampung yg biasanya dilakukan oleh anak-anak kecil sambil bawa obor sambil berpakaian layaknya kiyai.

Kalau mereka ditanya kenapa melakukannya? Yang masyhur sekali dari jawaban-jawabannya ialah bahwa ni (yang mereka lakukan) adlh bentuk dari pengagungan syiar-syiar Allah swt. Kita tahu bahwa sayyidina Umar merumuskan tahun Hijriyah dari semangat hijrah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam setelah kaum muslim membaiat beliau shallallahu alaihi wasallam.

Jadi tahun baru Hijriyah ni bukan sekedar ganti kalender, tap justru ada semangat hijrah Nabi dan para sahabat yg terkandung di dalamnya. Dan itu semua adlh bagian dari syiar-syiar agama Allah swt.

Firman Allah swt:
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
"Barang siapa yg mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu tumbuh ketaqwaan hati (seorang hamba)" (Q.S. al-Hajj 32)

Tentu kita tak bisa menutup mata bahwa ada kelompok muslim lain yg menginkari perayaan-perayaan semacam ini. Mereka melihat bahwa melakukan perayaan tersebut apapun bentuknya termasuk dari menga-ngada dlm syariah yg sejatinya syariah tak mencontohkan itu.

Toh sejak kalender Hijriyah diresmikan, para sahabat yg merupakan generasi terbaik tak pernah melakukan perayaan jika masuk awal tahun baru. Ada jg dari mereka yg mengatakan perayaan twrsebut adlh bid'ah yg jelas keharamannya. Apalagi dlm Islam itu hari raya itu hanya 2; Idul Fithri dan Idul Adha. Tidak ada yg ketiganya, apalagi keempat dan seterusnya.

Mereka yg merayakan berkilah, bahwa mereka meyakini itu bukan hari raya tapi ni adlh momen yg mengandung syiar Allah swt yg sebagai seorang muslim hendaknya menghormati dan mengagungkannya.

Sebodoh apapun orang muslim, mereka semua meyakini bahwa yg namanya hari raya Islam adlh hari raya Idul Fithri dan Idul Adha, 2 itu saja. Mereka tak meyakini tahun baru Hijriyah itu sebagai hari raya, mereka hanya memperingati momen bersejarah ini, tak sampai tertancap dlm diri dgn keyakinan bahwa itu adlh hari raya. Tidak ada.

Tapi apapun itu, perbedaan semacam ni sudah ada sejak lama, yg sekarang mesti dilakukan bukanlah memperuncing perbedaan itu semua yg sama sekali tak ada manfaat dan hanya buang-buang energi. Yang mesti dilakukan sekarang ialah saling menghormati saja satu dan lainnya.

Bagi yg merayakan hendaknya mengsji perayaannya dgn sesuatu yg positif bukan hura-hura serta kemaksiatan. Kalaupun diisi dgn acara tabligh akbar, hendaknya penceramah membakar semangat audiens dgn sangat hijrahnya Nabi dan para sahabat bukan malah mengisi dgn hujatan dan provokasi kepada mereka yg tak merayakan.

Yang melarang perayaan ni pula mestinya berbesar hati dan berlapang dada kalau ada yg merayakan. Jangan sampai ada hujatan dan hinaan serta julukan-julukan yg tidam semestinya keluar dari mulut seorang muslim. Saling menjaga keharmonisan tentu akan jauh lebih baik. Memperuncing perbedaan tak akan membuat masalah itu selesai.

Lebaran Anak Yatim

Ini jg masalah klasik yg hampir tiap tahun pasti diperbincangkan. Ada yg menentang, dan tak sedikit yg memang melestarikan tradisi ini.

Kalau Indonesia memang ramai budaya seperti ini, hampir tiap masjid serta majlis taklim mengadakan perayaan tahun baru Islam, disertai di dalamnya acara santunan anak yatim karena memang bulan muharram, tepatnya tanggal 10 adlh "lebarannya anak yatim."

Tradisi ni muncul karena memang banyak hadits-hadits yg dikenal oleh orang kebanyakan perihal fadhilah menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram. Karena banyaknya yg menyantuni, seakan tanggal 10 muharram ni jadi bulan "untung"-nya anak yatim sehingga banyak orang menyebutnya "lebaran", mengingat makna lebaran adlh hari bersenang-senang. Begitu jg di tanggal ini, anak yatim sedang senang-senangnya karena banyak yg sayang.

Diantara hadits-hadist tersebut ialah:
وَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ دَرَجَةً
"Siapa orang yg menyusap kepala anak yatim (menyantuni/menyayangi) pd hari Asyura (10 Muharram), maka Allah akan angkat derajatnya sebanyak rambut anak yatim tersebut yg terusap oleh tangannya" (hadits ke 212 dari kitab Tanbih al-Ghafilin)

Sayangnya memang hadits-hadits tentang keutamaan menyantuni anak yatim di tanggal 10 Muharram itu kesemuanya dlm status yg dhaif alias lemah / tak shahih. Sehingga ni yg menjadikan beberapa kelompok Islam lainnya mengharamkan praktek ini.

Bahkan mereka mengatakan itu adlh sebuah bid'ah, yaitu perkara yg mengada-ada dlm agama yg agama sendiri tak memberikan tuntunan untk itu. Bagi mereka, menyantuni anak yatim itu ibadah yg tak boleh dikhususkan pd waktu-waktu tertentu saja, akan tetapi itu adlh pekerjaan sepanjang masa yg tak bisa diidentikan dgn waktu tertentu.

Tapi, mereka yg melakukan pun sejatinya tahu bahwa itu adlh hadits-hadits dhaif, dan mereka tetap melakukannya dgn alasan yg kita tak bisa katakana itu argument yg ngasal.

Mereka mengatakan memang benar hadits itu dhaif, tapi apakah mengamalkan hadits dhaif itu mutlak diharamkan? Nyatanya ulama jumhur membolehkan mengamalkan hadits dhaif dgn beberapa syarat tentunya.

Imam al-Nawawi menyebutkan dlm kitabnya al-Azkar (hal. 8):
قال العلماءُ من المحدّثين والفقهاء وغيرهم: يجوز ويُستحبّ العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف ما لم يكن موضوعاً
"para ulama dari kalangan ahli hadits dan ahli fiqih mengatakan: boleh dan disukai mengamalkan hadits dhaif dlm perkara fadhail a'mal, targhib (memotivasi) serta tarhiib (memberikan peringatan) selama haditsnya tak maudhu' (palsu)".

Toh walaupun itu hadits dhaif, tapi ada hadits lain yg menaunginya secara umum, yaitu hadits keutamaan menyantuni anak yatim secara umum tanpa mengkhsuskan hari. Artinya praktek santunan anak yatim di hari asyura dinaungi oleh hadits umum tersebut.

Dan ulama jumhur pun membolehkan mengamalkan hadits dhaif -selain yg disebutkan Imam Nawawi- selama memang ada hadits shahih yg menaunginya walaupun secara umum. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, yg dikutip oleh sheikh Shafiyurrahman al-Mubarakafuri dlm kitabnya Mir'atul-Mashabiih syarh Misykatil-Mashaabiih (1/396) tentang mengamalkan hadits dhaif.

Jangan Marahin Ibadahnya, Tapi Tambahin Ilmunya

Intinya ialah kedua belah pihak harus saling memahami, yg menolak melakukan tradisi ni paham bahwa mereka yg melakukan sejatinya tak ngasal. Yang mengamalkan pun tak perlu membenci yg menolak.

Menyantuni anak yatim itu pekerjaan mulia, kenapa harus ditentang? Kalau memang cara mengkhususkan harinya yg ditentang, maka "jangan marahin ibadahnya, tapi tambahin ilmunya". Tambahin ilmunya tentang hadits-hadits shahih yg mungkin mereka tak tahu.

Wallahu a'lam

other source : http://flickr.com, http://zarkasih20.blogspot.com, http://detik.com

No comments:

Post a Comment

Contact Us

Name

Email *

Message *

All content at Blog Eps was found freely distributed on the internet and is presented for informational purposes only.
Images / photos / videos found in this site reserved by its respective owners.
We does not upload or host any files.
Home | DMCA | Contact