Tuesday 12 January 2016

Nabi Tidak Mengerjakan Berarti itu Haram?

Nabi Tidak Mengerjakan Berarti itu Haram? epssub.blogspot.com - Masif sekali beredar di kalangan masyarakat baik terpelajar / pun jg tak (dalam hal ni masalah syariah) terkait kaidah yg menyebutkan bahwa segala sesuatu yg Nabi s.a.w tak kerjakan itu adlh perkara yg haram. Ini yg masyhur. Maka perlu ada pembahasan terkait ini, apakah memang demikian. Apakah memang benar apa yg ditinggalkan Nabi s.a.w / Nabi s.a.w tak mengerjakan itu berarti haram dan terlarang untk dilakukan? Untuk itu penting untk dijelaskan terlebih dahulu adlh hakikat 'meninggalkan' itu.
Dalam bahasa Arab, meninggalkan disebut dgn al-Tarku [الترك], yang secara bahasa memang mempunyai arti meninggalkan. Sedangkan al-Tarku [الترك] dalam pembahasan kita berarti "Meninggalkannya Nabi s.a.w suatu pekerjaan tanpa ada keterangan bahwa beliau melarangnya, baik secara lisan / jg dgn isyarat serta pernyataannya."
Disebutkan "tanpa ada keterangan ... " itu dimaksudkan bahwa kalau memang ada keterangan Nabi s.a.w melarangnya baik secara lisan / pernyataan, maka itu tak termasuk dlm kategori "meninggalkan", akan tetapi itu adlh "Larangan!", karena ada keterangan Nabi melarangnya.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah semua yg tak dilakukan Nabi s.a.w itu berbuah haram dan terlarang untk dikerjakan? Lebih sempit lagi apakah al-Tarku itu konsekuensinya adlh keharaman? Nyatanya tak ada ulama uhsul fiqh yang menyatakan bahwa keharaman itu dihasilakn dari sebuah perkara yg ditinggalkan Nabi s.a.w, / jg dari perkara yg Nabi s.a.w tak pernah lakukan!
Ketika membahas apa konsekuensi hukum dari al=Tarku (meninggalkannya Nabi sebuah perkara) dlm kitabnya Husnu al-tafahhumi wa al-Darki fi Masalati al-Tarki [حسن التفهم والدرك في مسألة الترك] hal. 11, Sheikh Abdullah al-Shiddiq al-Ghumariy mengutip pernyataan Imam Ibn Hazm bahwa memang meninggalkannya Nabi s.a.w bukan berarti itu dalil keharaman;
وَأَمَّا حَدِيثُ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ أَصْلًا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ إلَّا إخْبَارُهُ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - بِمَا عَلِمَ؛ مِنْ أَنَّهُ لَمْ يَرَ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صَلَّاهُمَا، وَهُوَ الصَّادِقُ فِي قَوْلِهِ، وَلَيْسَ فِي هَذَا نَهْيٌ عَنْهُمَا، وَلَا كَرَاهَةٌ لَهُمَا؛ [وَمَا] صَامَ - عَلَيْهِ السَّلَامُ - قَطُّ شَهْرًا كَامِلًا غَيْرَ رَمَضَانَ؛ وَلَيْسَ هَذَا بِمُوجِبٍ كَرَاهِيَةَ صَوْمِ [شَهْرٍ كَامِلٍ تَطَوُّعًا] "sedangkan hadits Ali, itu tak menjadi dalil apa-apa, kecuali hanya pemberitahuan bahwa ia tak pernah melihat Nabi melakukan shalat 2 rakaat (ba'da ashar), ia benar dgn perkataannya. Akan tetapi tak ada dalil larangan sahalat 2 rakaat ba'da ashar, tak jg dimakruhkan. Dan tak puasanya Nabi sebulan penuh melainkan Ramadhan bukan dalil makruhnya puasa (sunnah) sebulan penuh di bulan lain" (Ibn Hazm / al-Muhalla; 2/36)
Dalam kutipan ini, kita menyaksikan bahwa Imam Ibnu Hazm sama sekali tak menjalani kaidah "Yang tak Nabi Kerjakan, berarti haram!", itu tak diamalkan oleh beliau. Karena memang al-Tarku itu tak membuahkan hasil hukum apa-apa. dan sebuah keharaman tak bisa dihasilkan oleh sesuatu yg ditinggalkan.
Kenapa Imam Ibnu Hazm?
Penulis mengutip pernyataan Imam Ibn Hazm al-Andalusi ni bukan tanpa alasan, tapi justru guna memperkuat bahwa meninggalkannya Nabi s.a.w sebuah perkara bukan berarti keharaman. Melihat bahwa Imam Ibn Hazm adlh ulama dari kalangan madzhab fiqh al-Dzahiriyah yg terkenal sangat ketat dlm menjalan sunnah-sunnah Nabi s.a.w dan sangat ketat sekali memperhatikan tekstual sebuah ayat dan hadits.
Bahkan madzhab al-Dzohiriyah mengharamkan adanya qiyas dlm ushul mereka. jadi menurut mereka, qiyas tidak bisa dijadikan sebagai dalil hukum, karena qiyas tidak pernah ada dlm al-Quran dan jg hadits Nabi s.a.w. intinya memang sangat tekstualis sekali, sampai-sampai mengharamkan qiyas dan hanya mengamalkan apa yg tertera secara eksplisit saja dlm al-Quran dan hadits.
Imam Ibn Hazm saja yg memang dikenal sangat ketat dan hanya melaksanakan apa yg ada dlm al-Quran dan hadits itu meyakini dgn sangat bahwa yg namanya al-tarku itu tak membuahkan hukum apa-apa. dan zaman sekarang ini, yg mengatakan bahwa meninggalkannya Nabi s.a.w sebuah perkara berarti itu haram adlh kelompok yg selalu mengaku kepatuhan mereka akan mengikuti al-Quran dan sunnah dgn sangat ketat.
Berikut ni akan dijelaskan beberapa hal yg menguatkan pandangan ulama bahwa yg namanya al-Tarku atau meninggalkannya Nabi s.a.w sebuah perkara tak berbuah keharaman;
1] Haram adlh Hukum Taklif
Hukum taklif dlm syariah ada 5; Wajib, sunnah, haram, makruh, mubah. Itu menurut Jumhur ulama, akan tetapi dlm madzhab Imam Abu Hanufah, hukum taklif ada 7; Fardhu, Wajib, Sunnah, Makruh Karahah Tanzih, Makruh Karahah, Haram dan Mubah.
Sama seperti hukum taklif lainnya, Haram pun tak muncul begitu saja, sesuatu bisa dihukumi haram tentu dgn beberapa bukti dan dalil dari teks-teks syariah yg jelas nyata mengindikasikan larangan. Dan dlm litarasi Ushul fqih, ada beberapa ciri teks syariah yg berbuah hukum haram dlm syariah, yg dlm bahasa ulama Ushul disbeut dgn Shiyagh al-Tahrim [صيغ التحريم]. Di antaranya;
a) Al-Nahyu [النهي] = Larangan

Salah satu ciri yg membuat sesuatu itu dihukumi haram adlh adanya teks syariah yg melarang / yg dlm bahasa syariah disebut dgn al-Nahyu [النهي]. Bahkan dlm madzhab Imam Abu Hanifah, sesuatu yg haram itu tak mungkin muncul kecuali dari teks syariah (nash) yg mengindikasikan larangan dgn syarat ia harus qath'iy (pasti dan tak multi tafsir) baik tsubut (sumber)-nya / jg dilalah (indikasi)-nya. Contohnya;
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا "dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adlh suatu perbuatan yg keji. dan suatu jalan yg buruk." (al-Isra; 32)
عن حذيفة أن النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "نَهَانَا عَنْ الْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجِ وَالشُّرْبِ فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَقَالَ هُنَّ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَهِيَ لَكُمْ فِي الْآخِرَةِ"Dari Huzaifah, Nabi s.a.w melarang kami (memakai) sutera dan (melarang kami) meminum dari bejana yg terbuat dari emas serta perak. Lalu beliau s.a.w mengatakan; "itu untk mereka (wanita) di dunia dan untk kalian (laki-laki) di akhirat". (HR. al-Bukhari)
Dua tek syariah ni mengindikasikan keharaman yg nyata karena kandungan masing-masing nash itu larangan. Jadi hukum berzina haram karena ayat tersebut, dan memakai emas serta sutra haram bagi wanita karena adanya hadits tersebut.
b) Al-Tahrim [التحريم] = Teks dgn Kalimat Haram
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yg (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah." (al-Baqarah; 173)
وعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَمَّا نَزَلَتْ آيَاتُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ عَنْ آخِرِهَا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ حُرِّمَتْ التِّجَارَةُ فِي الْخَمْرِ Dari A'isyah r.a, ketika turun beberapa ayat-ayat terakhir surat al-Baqarah, Rasul s.a.w keluar dan mengatakan; "telah diharamkan jual beli khamr". (HR al-Bukhari)
Kedua teks syariah di atas menunjukan bahwa bangkai itu haram di makan, dan yg kedua haram menjual serta membeli khamr. Keduanya diharamkan karena ada teks (nash) syariah yg melarangnya tersebut.
c) Ancaman Melaksanakannya [التوعد على الفعل بالعقاب]

Kemudian, yg jg membuat sesuatu itu haram dilakukan dlm syariah ni adlh sesuatu yg teks-teks syariah mengancam kita untk melakukannya / jika dilakukan ada dosa yg akan didapatkan. Misalnya;
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا"pencuri (laki-laki) dan pencuri (wanita), potonglah tangan-tangan mereka ..." (al-Maidah; 38)
Dalam ayat ini, Allah s.w.t mengancam bahwa pencuri itu ganjarannya adlh potong tangan. Karena ada ancaman seperti itu, ni menjadikan pencurian itu sebagai sesuatu yg diharamkan.
Sejatinya shiyagh atau redaksi teks syariah yg menunjukkan sebuah kaharaman bukan hnaya 3 ni saja, banyak jg yg lainnya, akan tetapi 3 contoh di atas sebagai contoh yg paling sering muncul. Intinya bahwa kita tak akan menemukan dlm literasi ushul para ulama Salaf yang mengatakan sesuatu itu haram karena Nabi s.a.w tak mengerjakannya. Atau haram karena Nabi s.a.w meninggalkan itu.
Dan al-Tarku bukan al-Nahyu (larangan), bukan jg al-Tahrim (perngharaman), bukan jg Dzamm wa al-Tawa'ud ala al-Fi'li (ancaman melaksanakan). Al-Tarku adalah al-tarku yang tak menghasilakn hukum apa-apa.
2] Yang Diharamkan adlh Yang Dilarang

Mari kita teliti ayat dan hadits berikut ini; وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا "apa yg dikerjakan, ambillah. Dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah" (al-Hasyr; 7)
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ "apa yg aku larang, maka tinggalkanlah. Dan apa yg aku perintahkan, kerjakanlah semampu kalian" (HR. Muslim)
Ayatnya jelas memerintahkan kita orang muslim untk selalu mengikuti apa yg telah Nabi s.a.w kerjakan, dan meninggalkan apa yg beliau larang. Begitu jg hadits setelahnya, perintah yg jelas sekali untk umat Islam untk mengikuti dan mengerjakan apa yg diperintahkan oleh Nabi s.a.w. dan meninggalkan dgn sepenuhnya apa yg beliau larang.
Tapi perlu diperhatikan, bahwa yg diperintah untk kita meninggalkannya adlh apa-apa yg dilarang, bukan apa yg ditinggalkan. Jelas melarang berbeda dgn meninggalkan. Dan karena inilah, para ulama ushul tidak ada yg mengatakan sesuatu itu haram dan wajib ditinggalkan hanya karena Nabi s.a.w. meniggalkannya. Yang jelas haram dan wajib ditinggalkan serta dijauhi adlh yg Nabi s.a.w. larang bukan yg beliau tinggalkan (al-Tarku).
3] Meninggalkan itu Banyak Motifnya
Ini yg terpenting dlm perumusan hukum, para ulama ushul tidak menjadikan sebuah hukum dari sesuatu yg mempunyai multi tafsir / punya banyak kemungkinan yg biasa disebut dgn Ihtimal [احتمال]. Berhukum haruslah disandarkan kepada sesuatu/dalil yg pasti dan punya makna jelas tak bersayap.
Dan dlm hal meninggalkan (al-Tarku) Nabi s.a.w. sebuah perkara, itu banyak motifnya (akan disebutkan selanjutnya), bisa karena lupa, / jg karena khawatir menjadi wajib bagi ummatnya, / jg karena memang -pada zamannya- tak ada yg membuatnya untk melakukan itu.
Karena banyak motifnya, banyak kemungkinannya, banyak tafsirnya, al-tarku ini tak bisa dijadikan dalil. Dan ulama ushul telah menyepakati ini, sehingga mereka memunculkan sebuah kaidah dlm ilmu ushul Fiqh;
إذا تطرق إليه الاحتمال سقط به الاستدلال
"kalau punya banyak kemungkinan (multi tafsir), maka tak bisa dijadikan dalil."

Dr. Muhammad SUlaiman al-Asyqar, dlm kitabnya yg jg disertasi beliau berjudul Af'al al-Rasul wa Dalalatuha ala al-Ahkam alSyar'iyyah [أفعال الرسول صلى الله عليه وسلم ودلالتها في الأحكام الشرعية], yang kalau diterjemahkan ke dlm bahasa Indonesia bisa diartikan "Pekerjaan Nabi s.a.w. dan Indikasinya atas Hukum Syariah". Dalam disertasinya ini, beliau menjelaskan secara rinci perihal al-Tarku (meninggalkan) Nabi s.a.w. dlm satu bab khusus di jilid 2 dari halaman 45 sampai halaman 70.
Di dalamnya jg beliau menjelaskan beberapa motif Nabi s.a.w. di antaranya;
a) Meninggalkan Perkara Sunnah Khawatir Menjadi Wajib

Ini yg masyhur sekali di telinga kita, bahwa Nabi s.a.w. meningalkan shalat tarawih berjamaah bersama para sahabat, dan hanya melakukan jamaah tarawih bersama mereka di 3 / 3 malam pertama saja. Ketika ditanya mengapa Nabi s.a.w. meninggalkannya, beliau menjawab; "Aku khawatir itu menjadi wajib bagi kalian, dan kalian tak sanggup". (Muttafaq 'alayh)
b) Meninggalkan Perkara Sunnah Khawatir Dianggap Wajib

Ini hampir sama dgn yg di atas, akan tetapi Dr. al-Asyqar mengatakannya berbeda. Beliau mencontohkan perkara bahwa Nabi s.a.w. selalu melakukan wudhu untk tiap shalat sebagai sebuah kesunahan. Kemudian pd peristiwa fathu Makkah, beliau hanya melakukan satu kali wudhu untk shalat seharian penuh itu. Lalu sayyidina Umar menanyakan hal itu kepada Nabi, kemudian Nabi menjawab bahwa beliau melakukannya sengaja.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dlm kitabnya Fath al-Bari (jil. 1 hal. 316) mengutip serta menguatkan pendapat Imam Thahawi yg menafsirkan hadits tersebut, bahwa melakukan wudhu di tiap kali shalat adlh perkara yg sunnah, dan Nabi s.a.w. meninggalkan kebiasaan itu pd hari fathu Makkah agar umat tak menganggap bahwa berwudhu di tiap kali shalat sebuah kewajiban, serta memberitahukan kepada umat bahwa ni sesuatu yg boleh.
c) Meninggalkan al-Raml dalam Thawaf Khawatir Menyulitkan

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dlm kitab al-Hajj di masing-masing Kitab Shahih mereka, meriwayatkan hadits dari sahabat Ibnu Abbas r.a bahwa Nabi s.a.w. meninggalkan al-Raml (lari-lari kecil) untk thawaf di putaran ke-4 sampai seterusnya karena khawatir memberatkan umat.
وَلَمْ يَمْنَعْهُ أَنْ يَأْمُرَهُمْ أَنْ يَرْمُلُوا الْأَشْوَاطَ كُلَّهَا إِلَّا الْإِبْقَاءُ عَلَيْهِمْIbnu Abbas r.a.: "tidak ada yg mencegah Nabi untk memerintahkan mereka agar raml di semua putaran Thawaf kecuali karena kasih sayangnya kepada umat". (Muttafaq 'alayh)
d) Meninggalkan Sesuatu Khawatir ada Mafsadah Yang Muncul

Nabi s.a.w. pernah meninggalkan sesuatu karena khawatir kalau itu dikerjakan, akan menimbulkan mafsadah/keburukan, / jg stigma negative dari sekitar. Salah satu contohnya, Nabi s.a.w. membiarkan dan tak membunuh kaum Munafiq yan sudah jelas kerusakan dan keburukannya kepada ummat. Karena khawatir kalau beliau s.a.w. membunuh, orang-orang Kafir akan membuat opini negative bahwa Nabi s.a.w membunuh sahabatnya sendiri. Dengan kesan negative itu, akhirnya membuat yg lain enggan untk memeluk Islam.
e) Meninggalkan Shalat Jenazah Yang Berhutang

Dalam hadits shahih yg diriwayatkan oleh shaikhan (Imam al-Bukhari dan Imam Muslim), Nabi s.a.w. menolak untk menshalati jenazah yg masih punya hutang dan belu dilunasi. Nabi s.a.w. menolak untk itu sebagai hukuman bagi mereka yg masih punya tanggungan tapi belum jg diselesaikan agar umat yg lain tak mengulangi hal yg sama.
Akan tetapi, walaupun beliau menolak shalat untk orang yg punya hutang, beliau s.a.w. tak melarang umatnya untk menshalati jenazah yg punya hutang itu. Dan para ulama pun sama sekali tak ada yg mengharamkan shalat untk jenazah yg punya putang dgn alasan Nabi s.a.w menolak untk menshalatinya.
f) Meninggalkan Karena Tidak Biasa

Dalam kitab shahih al-Bukhari dan jg Shahih Imam Muslim, Sahabat Abu Hurairah r.a. pernah meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah ditawari daging panggang, ketika ingin mengambilnya, salah seorang sahabat mengatakan bahwa itu daging dhabb (sejenis kadal), mendengar itu, Nabi s.a.w. tak jadi mengambilnya.
Ketika ditanya apakah itu haram? Nabi s.a.w. tak mengatakan demikian, ia hanya tak biasa saja dgn makanan yg emmang tak ada di kampungnya itu, tapi tak melarang para sahabat yg lain untk memakannya.
Itulah beberapa jenis al-tarku (meninggalkan) yg dilakukan oleh Nabi s.a.w., dan sejatinya masih banyak lagi, bahkan banyak sekali perkara-perkara yg memang tak dilakukan Nabi s.a.w. dlm hidupnya baik berupa ibadah maupun 'Adah (non-ibadah). Artinya memang motif meninggalkan sebuah perkara itu bisa bermacam-macam, karena memang banyak tafsirnya dan motifnya, itu tak bisa serta merta dijadikan dalil untk sebuah keharaman.
Kalau Semua Yang Ditinggalkan Menjadi Haram ...

Dr. Sulaiman al-Asyqar meneruskan bahwa kalau saja semua yg tak Nabi s.a.w. kerjakan dihukumi sebagai hukum haram dan tak boleh dilaksanakan, tentu ni akan menutup pintu ijtihad para ulama. Tidak ada jg kemudian Maslahah al-Mursalah, tidak ada jg qiyas yang banyak dijadikan dalil oleh ulama untk menghukum perkara-perkara yg memang tak dilakukan oleh Nabi s.a.w.
Dan menjadi haram jg mengamalkan keumuman [عموم] ayat / untk tiap perkaranya, karena alasan Nabi s.a.w. tak melakukan itu. Padahal ulama sejagad ni sepakat bahwa ayat dan hadits yg sifatnya umum tetap wajib diamalkan kecuali pd perkara yg sudah di-takhshish (dikhususkan).
Beliau menambahkan, itu jg berarti kita tak diwajibkan zakat pertanian kecuali apa yg memang sudah Nabi s.a.w. keluarkan zakatnya saja, yaitu' Kurma, Gandum, Jelai, dan Kismis.
إِنَّمَا سَنَّ رَسُولُ اللهِ  الزَّكَاةَ فيِ الحِنْطَةِ وَالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرِ وَالزَّبِيْبِ "Sesungguhnya Rasulullah SAW menetapkan zakat pd gandum, jelai, kurma dan kismis." (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthny)
Karena memang hanya 4 jenis tanaman itu saja yg nyata bahwa Nabi s.a.w. keluarkan zakatnya. Selain jenis yg 4 itu tak ada zakatnya. Apakah demikian? Nyatanya ulama 4 madzhab tak mengatakan demikian. Mereka memasukkan segala jenis tanaman lain yg wajib dizakati tak terbatas 4 jenis itu. Apakah berani kita mengatakan bahwa para ulama 4 madzhab itu melakukan sebuah keharaman? Melakukan sebuah bid'ah dlm agama karena menambah-nambah kewajiban zakat yg sejatinya Nabi s.a.w. tak mewajibkan itu? Begitukah?
Jangan Asal Mengharamkan

Maka perlu ada pembahasan yg detil dan terperinci perihal al-tarku ini, apakah konsekuensinya dlm syariah. Yang ditetapkan oleh para ulama ushul, bahwa meninggalkannya Nabi s.a.w. sebuah perkara itu bisa membuahkan hukum haram dgn dalil / qarinah yang menguatkan keharamannya tersebut. Sedangkan hanya al-tarku saja, itu tak bisa dijadikan dalil keharaman.
Dalam hal ni ulama sepakat bahwa al-tarku itu sama seperti sukut (diam)-nya Nabi s.a.w., dan diamnya Nabi tak membuahkan hasil hukum apa-apa kecuali dikuatkan dgn dalil / qarinah lain yg memang benar-benar mendukung.
Untuk itu baiknya tak asal menuduh orang lain berbuat haram hanya karena kita tak tahu bahwa Nabi s.a.w. tak melakukannya. Periksa dulu betul-betul dan jangan gegabah melempar status negative kepada saudara muslim lainnya yg sama sekali tak berguna apa-apa kecuali hanya menimbulkan permusuhan belaka.
Wallahu a'lam

other source : http://pinterest.com, http://reddit.com, http://zarkasih20.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Contact Us

Name

Email *

Message *

All content at Blog Eps was found freely distributed on the internet and is presented for informational purposes only.
Images / photos / videos found in this site reserved by its respective owners.
We does not upload or host any files.
Home | DMCA | Contact