Tuesday 12 January 2016

Ternyata, Shalat Wajib Hanya Satu

epssub.blogspot.com - Selama ni memang yg kita tahu bahwa shalat wajib dlm sehari semalam itu ada 5; Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Subuh. Itu yg memang masyhur. Tapi jangan kaget nantinya jika ada yg mengatakan bahwa shalat wajib hanya satu. Ini yg dipegang kuat oleh madzhab Imam Abu Hanifah.
Dalam madzhab ini, shalat wajib yg ada dlm sehari semalam memang hanya satu; Shalat Witir. Pendapat ni berangkat dari hadits Nabi s.a.w. yg memang menunjukkan itu;
إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ فَأَوْتِرُوا يَا أَهْل الْقُرْآنِ "Sesungguhnya Allah itu ganjil dan menyukai yg ganjil. Maka kerjakanlah shalat witir wahai ahli Al-Quran." (HR. Bukhari Muslim)
الْوِتْرُ حَقٌّ فَمَنْ لَمْ يُوتِرْ فَلَيْسَ مِنَّا "Witir itu kewajiban, siapa yg tak melakukan shalat witir maka dia bukan bagian dari kami." (HR. Abu Daud)
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَدَّكُمْ بِصَلاَةٍ هِيَ خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ وَهِيَ صَلاَةُ الْوِتْرِ فَصَلُّوهَا مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ Sesungguhnya Allah SWT telah menganugerahkan sebuah shalat yg lebih baik bagi kalian dari unta yg merah. Shalat itu adlh shalat witir. Lakukanlah shalat witir itu di antara shalat Isya' dan shalat shubuh. (HR. Tirmizy)
Dari ketiga hadits dan hadits yg lainnya juga, madzhab Imam Abu Hanifah memasukkan shalat witir sebagai sebuah kewajiban. Karena memang teks hadits menunjukkan perintah, dan perintah buahnya adlh sebuah kewajiban selama ada dalil dan qarinah lain yg menurunkan level itu menjadi sebuah kesunahan.
Lalu shalat yg 5 waktu, apa hukumnya?
Sedangkan shalat yg 5 itu, bukan wajib hukumnya, akan tetapi itu adlh shalat Fardhu. Karena memang madzhab ni membedakan antara wajib dan fardhu, karena itu jg hukum taklif dalam madzhab Imam Ahl al-Iraq itu bukan Cuma 5 (Wajib, Sunnah, Haram, Makruh, Mubah) sebagaimana Jumhur ulama, akan tetapi hukum taklif itu ada 7; Fardhu, Wajib, Sunnah, Makruh Karaha Tahrim, Makruh Karaha Tanzih, Haram.
Ini muncul karena perbedaan madzhab Imam Abu Hanifah dlm konsep istinbath dan melihat sifat teks syariah itu sendiri, baik al-Quran / jg al-hadits. Madzhab Imam Abu Hanifah dlm ushul disebut dgn istilah madzhab al-Fuqaha', sedangkan madzhab Jumhur dlm ushul disebut dgn istilah madzhab al-Mutakallimin. Pembedaan nama madrasah ushul ni jelas timbul karena perbedaan konsep keduanya dlm melihat teks syariah.
Sebagai tambahan informasi, secara global madzhab al-Fuqaha' tak hanya memperhatikan dilalah (indikasi) dari sebuah teks syariah. Mereka jg sangat teliti dgn tsubut (sumber)-nya teks tersebut, apakah Tsubut-nya qath'iy (al-Quran dan Hadits Mutawatir), / dzanniy (hadits Ahad)? Berbeda dgn madzhab al-Mutakallimun yang (dalam beberapa masalah) tak memperhatikan tsubut-nya teks syariah tersebut; qath'iy atau dzanniy, mereka lebih memperhatikan dilalah-nya saja, apakah dilalah-nya Qath'iy atau dzanniy.
Fardhu dan Wajib, Apa Bedanya?
Imam al-Amidy (631 H) dlm kitabnya "al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam" (1/99) secara tegas mengatakan bahwa jumhur tidak membedakan antara wajib dan fardhu. Selama dilalah-nya jelas dan nyata menunjukkan kewajiban, itu adlh fardhu yg jg sebuah kewajiban.
Madzhab Imam Abu Hanifah mengatakan, justru Fardhu itu derajatnya lebih tinggi daripada wajib, dan tak sama. Salah satu ulama masyhur madzhab ini; Imam Abdul Aziz al-Bukhariy (730 H) menjelaskan secara detil perbedaan antara Fardhu dan wajib ni dlm kitab ushul beliau; "Kasyf al-Asror, Syarhu Ushul al-Bazdawi" (2/303). Ternyata, Shalat Wajib Hanya Satu

Beliau mengatakan bahwa dari segi bahasa dan syara', jelas nyata perbedaan antara fardhu dan wajib. Fardhu secara bahasa adlh al-Qath'u wa al-Taqdir, yaitu sesuatu yg pasti dan sudah ada ukuran / takarannya. Karena itu ilmu waris disebut jg dgn istilah Faraidh, yang merupakan bentuk plural dari Faridhah yang berarti sesuatu yg sudah pasti dan sudah ada ukurannya.
Sedangkan wajib dalam bahasa punya arti berbeda dgn fardhu. Wajib secara bahasa berarti Luzum, yakni tuntutan yg harus dilakukan. Tapi bukan sesuatu yg terukur / pasti.
Sedangkan secara syara', madzhab ni mendefinisikan fardhu sebagai hukum yg lahir dari teks syariah yg berisikan dilalah akan keharusan yg qath'iy (tidak multi tafsir), dan tsubut (sumber)-nya juga qath'iy (al-Qur'an dan hadits mutawatir). Akan tetapi, wajib itu hukum yg lahir dari teks syariah yg dilalah-nya qaht'iy, sedangkan tsubut-nya dzanniy.
Dengan demikian -beliau meneruskan- sesuatu yg fardhu adlh sesuatu yg harus diyakini kewajibannya dlm hati, dan harus dilakukan oleh badan. Artinya jika ada yg menginkari ke-fardhu-an sesuatu yg sudah dihukumi fardhu, ia telah kafir.
Sedangkan wajib, itu sesuatu yg harus dikerjakan denagn badan, tapi tak harus diyakini dlm diri. Artinya menginkari kewajiban bukanlah sesuatu yg membuat seorang muslim menjadi kafir.
Meninggalkan Yang Wajib
Al-Bukhariy kemudian melanjutkan di halaman selanjutnya, bahwa orang yg meninggalkan kewajiban dlm madzhab ni konsekuensinya dilihat dari bagaimana ia meninggalkan.
Pertama, jika ia meninggalkan yg wajib sambil meremehkan kewajiban tersebut, ia dihukumi sebagai orang yg sesat. Karena ia telah mengingkari teks syariah yg sifatnya dzanniy.
Kedua, ia meninggalkan karena punya tafsiran lain dari kandungan teks syariah yg dzanniy itu, / dlm istilah ushul disebut dgn ta'wil. Kalau seperti ini, ia tak salah tak jg fasiq, karena men-ta'wil (dengan kaidah ta'wil yg benar) adlh sesuatu yg dijalankan oleh ulama sejagad, baik yg salaf / khalaf.
Ketiga, ia meninggalkan kewajiban tak dgn model pertama dan tak jg dgn model kedua, orang seperti ni dijuluki sebagai rajul su' (orang berdosa) yg berbuah kepada kefasiqan. Karena mengerjakan yg wajib adlh sebuah ketaatan dan mengingkarinya adlh sebuah maksiat.
Membuka Cakrawala
Sejatinya, dgn artikel ini, penulis ingin mengajak para pembaca sekalian membuka mata bahwa khazanah keilmuan syariah Islam yg telah diwariskan oleh para ulama-ulama kita sejak belasan abad yg lalu itu luas sekali, dan sangat disayangkan kalau terus memnerus menutup mata akan hal ini.
Karena itu, sebaiknya tak mencukupkan diri dgn yg sedikit jika memang ingin mendalami, agar tak menjadi jumud dan terlalu ekslusif sendiri, sehingga selalu ogah jika melihat adanya perbedaan. Itu kalau memang ingin yg lebih luas.
Akan tetapi, sejatinya memang cukup bagi kita ilmu syariah yg merupakan fardhu-fardhu saja, tak perlu tahu detilnya bagaimana. Cukup tahu hukum ni A dan hukum itu B, tak peduli apa itu dzanniy, apa itu qath'iy, apa itu dilalah, tsubut, nash, dzahir, 'aam, khash, serta saudara-saudaranya. Cukup yg instan saja. Nah, kalau sudah merasa cukup dgn yg instan, maka cukup pula untk tak terlalu banyak berbicara syariah, hukum, jurisprudensi sana sini dgn pongah apalagi menyalahkan yg lain yg berbeda padahal hanya punya satu lembar catatan ilmu.
Mari sadar diri.
Wallahu a'lam

No comments:

Post a Comment

Contact Us

Name

Email *

Message *

All content at Blog Eps was found freely distributed on the internet and is presented for informational purposes only.
Images / photos / videos found in this site reserved by its respective owners.
We does not upload or host any files.
Home | DMCA | Contact