Sampang adalah sebuah kabupaten di Madura yg ada di sebelah utara bagian timur dari pulau Jawa.
Sejarah kuno Sampang hanya dikenal dari beberapa prasasti dgn Sangkala candra. Dalam tradisi Jawa, adalah suatu representasi visual yg berbunyi hukuman empat kata yg masing-masing menghasilkan angka. Ini memberikan makna tanggal secara penanggalan Saka.
Pertama candra Sangkala ditemukan di situs Sumur Daksan di desa Dalpenang, membaca angka 757 Saka / 835 Masehi itu menandakan adanya komunitas kaum Budha yg dipimpin oleh Resi (guru spiritual) .
Sebuah candra kedua Sangkala, ditemukan di situs Bujuk Nandi, di desa Kamoning Kabupaten Sampang, yg terbaca sebagai Saka 1301 / 1379 M. Situs itu menyebutkan adanya sebuah komunitas yg dipimpin oleh seorang Resi bernama Durga Shiva Mahesasura Mardhini. The Nandi banteng adalah vahana / kendaraan Dewa Shiwa.
Sebuah candra ketiga Sangkala , ditemukan di situs Pangeran Bangsacara di desa Polagan , menandakan tahun 1383, ketika pembangunan sebuah kuil Buddha dgn ber-relief yg menceritakan kisah seorang pangeran bernama Bangsacara dan berisi pesan moral dan ajaran agama. Kita dpt menyimpulkan keberadaan masyarakat Shaivite dan Buddha di kabupaten Sampang antara tahun 1379 dan 1383.
Sebuah candra keempat Sangkala , ditemukan di situs Pangeran Santomerto yg menunjukkan tanggal kematian pangeran Santomerto, paman Praseno dan hal ni sesuai dgn tahun 1574.
Sebuah candra kelima Sangkala yg terukir di sayap kiri dari portal utama makam ibu Praseno di Madegan. Ini melambangkan naga melalui kepala ke ekor dgn panah. Ini melambangkan tahun 1546 Saka / 1624 M. Ini adalah tahun dimana Praseno diangkat oleh Sultan Agung dgn gelar Pangeran Cakraningrat
Babad Sampang Pada Zaman Majapahit di Sampang ditempatkan seorang Kamituwo yg pangkatnya hanya sebagai patih, jadi boleh dikatakan kepatihan yg berdiri sendiri.
Sewaktu Majapahit mulai mundur, di Sampang berkuasa Ario Lembu Peteng / terkenal dgn sebutan Bondan Kejawan / Ki Ageng Tarub II / Prabu Brawijaya VI, Putera ke 14 dari Raja Majapahit Prabu Bhre Kertabhumi / Prabu Brawijaya V / Raden Alit dgn selirnya yaitu Puteri Champa yg bernama Ratu Dworo Wati / Puteri Wandan Kuning . Lembu Peteng akhirnya pergi memondok di Masjid Ampel dan meninggal di sana.
Yang mengganti Kamituwo di Sampang adalah putera yg tertua ialah Ario Menger yg keratonnya tetap di Madekan. Menger berputera 3 orang laki-laki ialah:
Ario Pratikel mempunyai anak perempuan yg bernama Nyai Ageng Budo yg menikah dgn Ario Pojok yg merupakan putera dari Ario Kudut, Ario Kudut sendiri merupakan putera dari Ario Timbul. Ario Timbul merupakan putera dari hasil pernikahan antara Menak Senojo dgn Nyai Peri Tunjung Biru Bulan / yg bergelar Puteri Tunjung Biru Sari.
Pernikahan antara Nyai Ageng Budo dgn Ario Pojok membuahkan keturunan yg bernama Kyai Demang (Demangan adalah tempat kelahirannya).
Setelah Demang menjadi dewasa ia sering pergi ke tempat-tempat yg dipandang keramat dan bertapa beberapa hari lamanya di sana hingga pd suatu waktu saat ia tertidur di pertapaannya ia bermimpi supaya ia terus berjalan ke arah Barat Daya ke desa Palakaran.
Setelah Demang bangun ia terus pulang dan minta ijin pd orang tuanya untk memenuhi panggilan dlm mimpinya, ayah dan ibunya sebenarnya keberatan tetapi apa dikata, kehendak anaknya sangat kuat. Menurut cerita Demang terus berjalan ke arah Barat Daya, selama di perjalanan ia makan ala kadarnya daun-daun, buah-buahan dan apa saja yg dpt dimakan, dan kalau malam ia tertidur di hutan dimana ia dpt berteduh.
Pada suatu waktu ketika ia berhenti melepaskan lelah tiba-tiba datang seorang perempuan tua memberikan bingkisan dari daun-daun, setelah bingkisan dibuka terdapatlah 40 buah bunga Nagasari, dimana ada Pohon Nagasari? Perempuan tua itu menjawab bahwa pohon yg dimaksud letaknya di desa Palakaran tak beberapa jauh dari tempat itu.
Dengan diantar perempuan tua tersebut Demang terus menuju kedesa Palakaran dan diiringi oleh beberapa orang yg bertemu diperjalanan. Sesampainya di desa tersebut mereka beristirahat di kediaman pengantarnya sambil menikmati hidangan yg lezat-lezat yg menghidangkan ialah, Nyi Sumekar puteri dari janda itu. Tidak beberapa lama kyai Demang jatuh cinta pd perempuan itu dan mereka kemudian menikah, dan mendirikan rumah besar, yg kemudian oleh orang-orang disebut keraton kota Anjar (Arosbaya) dari perkawinan Nyai Sumekar dan Kyai Demang lahirlah beberapa orang anak dgn nama-nama sebagai berikut :
Ia menikah dgn puteri Wonorono di Pamekasan karena itu ia jg menguasai Pamekasan jadi berarti Sampang dan Pamekasan bernaung dlm satu kerajaan, demikian pula sewaktu Nugeroho (Bonorogo) menggantikan ayahnya yg berkeraton di Pamekasan dua daerah itu masih di bawah satu kekuasaan.
Setelah kekuasaan Bonorogo, Sampang terpisah lagi dgn Pamekasan yg masing-masing dikuasai oleh Adipati Pamadekan (Sampang) dan Pamekasan dikuasai oleh Panembahan Ronggo Sukawati, keduanya adalah putera Bonorogo.
Kemudian Sampang diperintah oleh Pangeran Adipati Mertosari ialah cucu dari puteri Pramono putera dari Pangeran Suhra Jamburingin, demikianlah diceritakan bahwa memang menjadi kenyataan Kyai Demang banyak menurunkan Raja-Raja di Madura.
legenda jaka tarub
Jaka Tarub adalah salah satu cerita rakyat dari Jawa Tengah yg mengisahkan tentang kehidupan Ki Jaka Tarub yg setelah tua bergelar Ki Ageng Tarub, tokoh legendaris yg dianggap sebagai leluhur raja-raja Kesultanan Mataram, dari pihak putrinya, yaitu yg bernama Retno Nawangsih.
Suatu hari Jaka Tarub berangkat berburu di kawasan Gunung Keramat. Di gunung itu terdapat sebuah telaga tempat tujuh bidadari mandi.
Jaka Tarub mengambil selendang salah satu bidadari. Ketika 7 bidadari selesai mandi, enam dari tujuh bidadari tersebut kembali ke kahyangan. Sisanya yg satu orang bingung mencari selendangnya, karena tanpa itu ia tak mampu terbang.
Jaka Tarub muncul datang menolong. Bidadari yg bernama Dewi Nawangwulan itu bersedia ikut pulang ke rumahnya. Keduanya akhirnya menikah dan mendapatkan seorang putri bernama Dewi Nawangsih. Selama hidup berumah tangga, Nawangwulan selalu memakai kesaktiannya. Sebutir beras bisa dimasaknya menjadi sebakul nasi.
Suatu hari Jaka Tarub melanggar larangan Nawangwulan supaya tak membuka tutup penanak nasi. Akibatnya kesaktian Nawangwulan hilang. Sejak itu ia menanak nasi seperti umumnya wanita biasa. Maka, persediaan beras menjadi cepat habis. Ketika beras tinggal sedikit, Nawangwulan menemukan selendang pusakanya tersembunyi di dlm lumbung. Nawangwulan pun marah mengetahui kalau suaminya yg telah mencuri benda tersebut.
Jaka Tarub memohon istrinya untk tak kembali ke kahyangan. Namun tekad Nawangwulan sudah bulat. Hanya demi bayi Nawangsih ia rela turun ke bumi untk menyusui saja.
Pernikahan Nawangsih Jaka Tarub kemudian menjadi pemuka desa bergelar Ki Ageng Tarub, dan bersahabat dgn Prabu Brawijaya raja Majapahit. Pada suatu hari Brawijaya mengirimkan keris pusaka Kyai Mahesa Nular supaya dirawat oleh Ki Ageng Tarub. Utusan Brawijaya yg menyampaikan keris tersebut bernama Ki Buyut Masahar dan Bondan Kejawan, anak angkatnya. Ki Ageng Tarub mengetahui kalau Bondan Kejawan sebenarnya putra kandung Brawijaya. Maka, pemuda itu pun diminta agar tinggal bersama di desa Tarub.
Sejak saat itu Bondan Kejawan menjadi anak angkat Ki Ageng Tarub, dan diganti namanya menjadi Lembu Peteng. Ketika Nawangsih tumbuh dewasa, keduanya pun dinikahkan. Setelah Jaka Tarub meninggal dunia, Lembu Peteng alias Bondan Kejawan menggantikannya sebagai Ki Ageng Tarub yg baru dan bergelar Ki Ageng Tarub II. Nawangsih sendiri melahirkan seorang putra, yg setelah dewasa bernama Ki Getas Pandawa.
Ki Ageng Getas Pandawa kemudian memiliki putra bergelar Ki Ageng Sela, yg merupakan kakek buyut '''Panembahan Senapati''', pendiri Kesultanan Mataram.
sejarah singkat
Sangkala Memet yg terdapat di situs Sumur Dhaksan di Jalan Syuhadak Kelurahan Dalpenang menjadi prasasti yg pertama. Di situs itulah, ditemukan Candra Sangkala / angka tahun Saka (C,) yg berbunyi: Kudo Kalih Ngrangsang Ing Butho
Seorang ahli sansekerta menafsirkan, situs Sumur Dhaksan dibuat sekitar tahun 757 C, yg bertepatan dgn tahun 835 Masehi. Berarti, situs tersebut dibuat jauh sebelum berdirinya Dinasti Syailendra.
"Saat itu, di Sampang sudah ada komunitas masyarakat yg berstruktur dan memiliki padepokan agama Hindu-Budha," terangnya.
Berdasarkan penjelasan Direktorat Sejarah dan Kepurbakalaan Depdikbud RI, pd jaman itu padepokan tersebut merupakan tempat untk menggodok kerohanian masyarakat.
Prasasti kedua adalah Sangkala Memet pd situs Buju’ Nandi di Desa Kemoning, Kecamatan Kota Sampang. Pada prasasti tersebut, tertulis Negara Gata Bhuana Agong / 1301 C, yang bertepatan dgn tahun 1379 Masehi. Sangkala Memet tersebut diperkirakan bekas peninggalan padepokan Hindu-Budha.
Sedangkan prasasti yg ketiga adalah prasasti Bangsacara yg terletak di Kampung Madeggan, Kelurahan Polagan, Kota Sampang. Situs tersebut ditemukan di dasar umpak / candi belum jadi yg tertulis angka 1305 C, / bertepatan dgn tahun 1383 Masehi.
"Konon, di daerah ni jg sudah berdiri padepokan Hindu-Budha yg kebenaran berdirinya didukung oleh pitutur / legenda masyarakat setempat," terangnya.
Prasasti yg keempat adalah situs Pangeran Santo Merto yg merupakan paman Raden Praseno / Pangeran Cakraningrat I yg menjadi penguasa Madura Barat. Pada situs ini, terdapat tulisan Candra Sangkala bertuliskan huruf Hijaiyah tahun 1496 C, / tahun 1574 Masehi.
Sedangkan situs terakhir adalah Makam Rato Ebuh yg jg terletak di Kampung Madeggan. Di situs tersebut, tertulis angka tahun Saka dan tulisan berbunyi "Naga Kapaneh Titis Ing Midi" yg dibuat pd tahun 1545 C, / tahun 1624 Masehi yg kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sampang.
Berangkat dari temuan prasasti dan situs itulah, akhirnya Pemkab Sampang menggelar Seminar Penentuan Hari Jadi Kabupaten Sampang. Yang diundang sebagai pembicara antara lain, peneliti sejarah dari Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta.
Kesimpulan seminar, situs Sumur Daksan, Buju’ Nandi, Bangsacara, dan Pangeran Santo Merto dinyatakan tak bisa dijadikan sebagai referensi. Alasannya, tak ada bukti / referensi kepustakaan otentik yg mendukung.
Khusus prasasti Pangeran Santo Merto, sebenarnya disertai bukti tulisan ahli sejarah asal Belanda, HJ De Graff. Tapi, tulisan tersebut dinyatakan tak representatif dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang.
"Setelah melalui adu argumentasi dan pengkajian ilmiah secara mendalam, akhirnya situs Makam Rato Ebuh yg ditetapkan sebagai acuan untk menentukan Hari Jadi Kabupaten Sampang," jelas Ali Daud Bey.
Dibandingkan referensi yg lain, situs Makam Rato Ebuh dilengkapi dan didukung dgn daftar kepustakaan hasil karya ahli sejarah Belanda HJ De Graff. Sehingga, sangat representatif dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang.
Dalam bukunya "De Op Komst Van R Trunojoyo" (1940), HJ De Graaf menyebutkan bahwa pd tanggal 12 Rabi’ul Awal 1039 Hijriyah yg bertepatan dgn 23 Desember 1624 Masehi, Raja Mataram saat itu Sultan Agung mengangkat dan menetapkan Raden Praseno yg bergelar Pangeran Cakraningrat I menjadi penguasa Madura Barat yg kerajaannya dipusatkan di Sampang.
De Graff menerangkan, dlm surat titahnya, Sultan Agung jg menegaskan bahwa Pangeran Cakraningrat I berhak menerima payung kebesaran kerajaan dan upeti sebesar 20 ribu Gulden.
Secara de jure maupun de facto, surat tersebut merupakan bukti otentik yg menjadi pride (kebanggaan) masyarakat Madura Barat yg cakupan kekuasaannya meliputi Sampang, Arosbaya, dan Bangkalan atas terpilihnya Raden Praseno sebagai Raja Madura Barat.
Saat itu, masyarakat Mataram ikut merayakan pengangkatan dan penetapan Pangeran Cakraningrat I dgn melakukan kegiatan Gebreg Maulid.
Sebenarnya, Pangeran Cakraningrat I adalah salah seorang tawanan Sultan Mataram saat berlangsungnya perang antara masyarakat Madura dgn Mataram. Tapi, Sultan Agung kemudian mengangkat Raden Praseno yg saat itu masih berumur 6 tahun sebagai anak asuhnya.
Setelah puluhan tahun dibesarkan di lingkungan keluarga Keraton Mataram, akhirnya Raden Praseno menjadi anak emas Sultan Agung dan dipercaya menjadi Raja Madura Barat pd tahun 1546 Saka / 1624 M.
Meskipun menjadi penguasa Madura Barat, Pangeran Cakraningrat I konon jarang berada di Sampang. Sebab, saat itu tenaganya sangat dibutuhkan Sultan Agung untk mengawal Kerajaan Mataram. Praktis, jalannya roda pemerintahan di Kerajaan Madura Barat seringkali diwakilkan kepada pamannya, Pangeran Santo Merto.
Beberapa tahun kemudian, Pangeran Cakraningrat I dan putranya Pangeran Mloyo Kusumo / Raden Maluyo akhirnya mangkat di medan perang saat berusaha menghentikan pemberontakan Pangeran Pekik yg merongrong kepemimpinan Sultan Agung.
Jasad Pangeran Cakraningrat I kemudian dikebumikan di makam raja-raja Mataram di Imogiri, Jawa Tengah. Perang saudara tersebut akhirnya melengserkan tahta kekuasaan Sultan Agung. Setelah itu, mahkota Kerajaan Mataram diserahkan kepada Sultan Amangkurat.
Peralihan kekuasaan dari Sultan Agung kepada Sultan Amangkurat ini, berimbas pd jalannya roda pemerintahan di Kerajaan Madura Barat. Mahkota kerajaan yg seharusnya diserahkan kepada Raden Nila Prawita / Pangeran Trunojoyo, justru diserahkan kepada Pangeran Cakraningrat II.
Karena tak terima dgn keputusan Raja Mataram Sultan Amangkurat, Pangeran Trunojoyo akhirnya melakukan pemberontakan. Konon, kepemimpinan Pangeran Cakraningrat II ni dilakukan secara sewenang-wenang, korup, dan bejat.
Merasa tak aman dgn ancaman dan pemberontakan Pangeran Trunojoyo, akhirnya pusat Kerajaan Madura Barat dipindah dari Madeggan di Sampang ke daerah Kwanyar, Bangkalan. Beberapa saat kemudian, tahta kerajaan dipindah lagi ke daerah Arosbaya, Bangkalan.
Kegigihan perjuangan Pangeran Trunojoyo akhirnya membuahkan hasil. Tidak hanya Kerajaan Madura Barat saja yg berhasil digulingkan. Tapi, tahta Kerajaan Mataram pun akhirnya berhasil direbut.
Meskipun berhasil melengserkan kekuasaan Sultan Amangkurat sebagai Raja Mataram, tapi Pangeran Trunojoyo menolak menjadi penguasa dan menduduki singgasana Kerajaan Mataram. Yang dia inginkan, hanyalah menjadi penguasa Kerajaan Madura Barat. Akhirnya, Pangeran Trunojoyo resmi dinobatkan menjadi Raja Madura Barat dgn gelar Panembahan Maduretno.
Walaupun menolak menduduki tahta Kerajaan Mataram, Panembahan Maduretno tetap membawa mahkota Kerajaan Mataram. Dia menolak menyerahkan simbol kekuasaan Kerajaan Mataram, selama Sultan Amangkurat tak bersedia memutuskan kerjasama dgn Belanda. Setelah tuntutan itu dipenuhi, akhirnya mahkota Kerajaan Mataram pun dikembalikan.
Selama menjadi penguasa Kerajaan Madura Barat, Pangeran Trunojoyo meninggalkan monumen bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Sampang. Diantaranya adalah Monumen Trunojoyo yg dijadikan sebagai pusat latihan kelaskaran prajurit Kerajaan Madura Barat.
Sampai saat ini, Monumen Pebabaran sebagai tempat kelahiran Pangeran Trunojoyo yg terlokasi di Jalan Pahlawan Gg VIII Kota Sampang masih terawat dgn baik. Menurut legenda masyarakat setempat, di lokasi inilah ari-ari pahlawan rakyat Madura tersebut ditanam oleh kedua orangtuanya
geografis
Kabupaten Sampang secara administrasi terletak dlm wilayah Propinsi Jawa Timur yg secara geografis terletak di antara 113o 08’ - 113o 39’ Bujur Timur dan 6o 05’ - 7o 13’ Lintang Selatan. Kabupaten Sampang terletak ± 100 Km dari Surabaya, dpt dgn melalui Jembatan Suramadu kira-kira 1,5 jam / dgn perjalanan laut kurang lebih 45 menit dilanjutkan dgn perjalanan darat ± 2 jam.
pariwisata
Nasi jagung (nasek empog) Hmmm... Sepertinya enyak ^^
Terdiri dari nasi putih yg dicampur dgn biji jagung yg telah dimasak bersama-sama.
Nasi Kobel
Nasi dgn lauk ikan laut, tahu, sambel kelapa, dan sambel khas Madura "buje cabbih"
Bebek Songkem
Konon masyarakat kota Sampang dgn notabene menjunjung dan menghormati Kyai, selalu membawa oleh - oleh bila hendak ke rumah sang Kyai untk songkeman. Maka jadilah masakan bebek yg mereka bawa disebut bebek songkem.
Rujak cingur khas Sampang
Saat googling tentang kulineran khas Sampang, saya menemukan situs yg berisi macam2 rujak
Rujak sudah mengalami tingkat evolusi dan modifikasi dari tahun ke tahun jadinya tiap daerah memiliki ciri khas dan rasa yg berbeda - beda pula. Nah untk Rujak Khas Sampang sendiri memiliki jenis dan suguhan yg berbeda - beda pula, ada sekitar 5 (Lima Jenis) Jenis rujak di Kota Sampang yaitu :
RUJAK CINGUR
Rujak cingur ni sama dgn rujak cingur pd umumnya hanya saja rujak ni memiliki rasa dan bumbu yg agak sedikit kasar tapi soal rasa bisa tak kalah dgn penganan rujak di seluruh indonesia, yg menambah nikmat rasanya adalah cingur - cingur olahan khusus yg empuk dan kerupuk singkong khas madura yg gurih, disajikan dgn rasa yg pedas dan minuman dingin mantaaaf..... soal harga andapun tak perlu merogoh kocek terlalu dlm cukup dgn lima ribu rupiah untk rasa yg eksotik dan tentunya jadi pengalaman baru bagi lidah anda.
RUJAK COLEK
Ini bukan penganan genit yg pernah anda dengar, namanya rujak colek / dlm bahasa Madura adalah
" Dhulit " kenapa masyarakat disini menyebutnya demikian karena biasanya bagi sebagian para penjual setelah bumbu selesai di buat biasanya mencoleknya dgn irisan mentimun untk mengetes rasa yg diinginkan oleh pembeli, sebagian orang jg mengatakan dikarenakan cara makan rujak ni dahulu dgn mencolek bumbunya menggunakan irisan buah. Rujak ni berbeda dgn rujak pd umumnya, rujak ni tak menggunakan bumbu lengkap seperti halnya rujak cingur, hanya menggunakan petis, bumbu penyedap dan ada tambahan tomat isinya pun tanpa lontong hanya buah - buahan, sayur, cingur dan kerupuk singkong. Rasanya lebih Sangar dari rujak cingur apalagi bagi kalian penyuka makanan pedas.
RUJAK COREG
Rujak ni bisa dikatakan rujak unik dan mungkin hanya ada di Kota Sampang, namanya rujak Coreg / dlm bahasa indonesia mengorek / mengeluarkan isinya. Dinamakan rujak coreg karena Bahannya hanya menggunakan mentimun yg di keluarkan isinya dgn cara menggunakan potongan bambu yg telah dihaluskan, bumbunya hanya menggunakan petis, garam dan cabe kemudian mengisinya kembali bumbu yg telah jadi kedalam mentimun, bisa kebayang bagaimana cara anda memakannya.....penasaran ??? jika anda sedang berkunjung ke Kota Sampang silahkan mencobanya.
RUJAK GUNUNG / RUJAK DESA
Dinamakan rujak Gunung / rujak Desa karena kebanyakan para penjualnya berasal dari desa dan perbukitan di sekitar kota Sampang, rujak ni lebih simpel lagi dari rujak cingur hanya berisi sayuran dari buah pepaya muda yg di godok dan lontong untk bumbunya sendiripun tak terlalu lengkap seperti rujak cingur dan biasanya kebanyakan dihidangkan dgn nasi jagung.
RUJAK CAMPUR
Rujak ni hanya ada di beberapa daerah pedesaan di Kota Sampang, olahannya sama dgn rujak pd umumnya kemudian ada tambahan mie dan kuah dari Lontong mie yg disiramkan di atas rujak dan ada tambahan bumbu dari petis yg dicairkan rujak ni tak terlalu diminati oleh sebagian masyarakat mungkin karena selain rujaknya berkuah dan rasanya sedikit asing.
sumber oryza-bitha,wikipedia
Sejarah kuno Sampang hanya dikenal dari beberapa prasasti dgn Sangkala candra. Dalam tradisi Jawa, adalah suatu representasi visual yg berbunyi hukuman empat kata yg masing-masing menghasilkan angka. Ini memberikan makna tanggal secara penanggalan Saka.
Pertama candra Sangkala ditemukan di situs Sumur Daksan di desa Dalpenang, membaca angka 757 Saka / 835 Masehi itu menandakan adanya komunitas kaum Budha yg dipimpin oleh Resi (guru spiritual) .
Sebuah candra kedua Sangkala, ditemukan di situs Bujuk Nandi, di desa Kamoning Kabupaten Sampang, yg terbaca sebagai Saka 1301 / 1379 M. Situs itu menyebutkan adanya sebuah komunitas yg dipimpin oleh seorang Resi bernama Durga Shiva Mahesasura Mardhini. The Nandi banteng adalah vahana / kendaraan Dewa Shiwa.
Sebuah candra ketiga Sangkala , ditemukan di situs Pangeran Bangsacara di desa Polagan , menandakan tahun 1383, ketika pembangunan sebuah kuil Buddha dgn ber-relief yg menceritakan kisah seorang pangeran bernama Bangsacara dan berisi pesan moral dan ajaran agama. Kita dpt menyimpulkan keberadaan masyarakat Shaivite dan Buddha di kabupaten Sampang antara tahun 1379 dan 1383.
Sebuah candra keempat Sangkala , ditemukan di situs Pangeran Santomerto yg menunjukkan tanggal kematian pangeran Santomerto, paman Praseno dan hal ni sesuai dgn tahun 1574.
Sebuah candra kelima Sangkala yg terukir di sayap kiri dari portal utama makam ibu Praseno di Madegan. Ini melambangkan naga melalui kepala ke ekor dgn panah. Ini melambangkan tahun 1546 Saka / 1624 M. Ini adalah tahun dimana Praseno diangkat oleh Sultan Agung dgn gelar Pangeran Cakraningrat
Babad Sampang Pada Zaman Majapahit di Sampang ditempatkan seorang Kamituwo yg pangkatnya hanya sebagai patih, jadi boleh dikatakan kepatihan yg berdiri sendiri.
Sewaktu Majapahit mulai mundur, di Sampang berkuasa Ario Lembu Peteng / terkenal dgn sebutan Bondan Kejawan / Ki Ageng Tarub II / Prabu Brawijaya VI, Putera ke 14 dari Raja Majapahit Prabu Bhre Kertabhumi / Prabu Brawijaya V / Raden Alit dgn selirnya yaitu Puteri Champa yg bernama Ratu Dworo Wati / Puteri Wandan Kuning . Lembu Peteng akhirnya pergi memondok di Masjid Ampel dan meninggal di sana.
Yang mengganti Kamituwo di Sampang adalah putera yg tertua ialah Ario Menger yg keratonnya tetap di Madekan. Menger berputera 3 orang laki-laki ialah:
- Ario Langgar,
- Ario Pratikel (ia bertempat tinggal di Pulau Gili Mandangin / Pulau Kambing) dan
- Ario Panengah yg bergelar Pulang Jiwo bertempat tinggal di Karangantang.
Ario Pratikel mempunyai anak perempuan yg bernama Nyai Ageng Budo yg menikah dgn Ario Pojok yg merupakan putera dari Ario Kudut, Ario Kudut sendiri merupakan putera dari Ario Timbul. Ario Timbul merupakan putera dari hasil pernikahan antara Menak Senojo dgn Nyai Peri Tunjung Biru Bulan / yg bergelar Puteri Tunjung Biru Sari.
Pernikahan antara Nyai Ageng Budo dgn Ario Pojok membuahkan keturunan yg bernama Kyai Demang (Demangan adalah tempat kelahirannya).
Setelah Demang menjadi dewasa ia sering pergi ke tempat-tempat yg dipandang keramat dan bertapa beberapa hari lamanya di sana hingga pd suatu waktu saat ia tertidur di pertapaannya ia bermimpi supaya ia terus berjalan ke arah Barat Daya ke desa Palakaran.
Setelah Demang bangun ia terus pulang dan minta ijin pd orang tuanya untk memenuhi panggilan dlm mimpinya, ayah dan ibunya sebenarnya keberatan tetapi apa dikata, kehendak anaknya sangat kuat. Menurut cerita Demang terus berjalan ke arah Barat Daya, selama di perjalanan ia makan ala kadarnya daun-daun, buah-buahan dan apa saja yg dpt dimakan, dan kalau malam ia tertidur di hutan dimana ia dpt berteduh.
Pada suatu waktu ketika ia berhenti melepaskan lelah tiba-tiba datang seorang perempuan tua memberikan bingkisan dari daun-daun, setelah bingkisan dibuka terdapatlah 40 buah bunga Nagasari, dimana ada Pohon Nagasari? Perempuan tua itu menjawab bahwa pohon yg dimaksud letaknya di desa Palakaran tak beberapa jauh dari tempat itu.
Dengan diantar perempuan tua tersebut Demang terus menuju kedesa Palakaran dan diiringi oleh beberapa orang yg bertemu diperjalanan. Sesampainya di desa tersebut mereka beristirahat di kediaman pengantarnya sambil menikmati hidangan yg lezat-lezat yg menghidangkan ialah, Nyi Sumekar puteri dari janda itu. Tidak beberapa lama kyai Demang jatuh cinta pd perempuan itu dan mereka kemudian menikah, dan mendirikan rumah besar, yg kemudian oleh orang-orang disebut keraton kota Anjar (Arosbaya) dari perkawinan Nyai Sumekar dan Kyai Demang lahirlah beberapa orang anak dgn nama-nama sebagai berikut :
- Kyai Adipati Pranomo
- Kyai Pratolo / disebut sebagai Pangeran Parambusan
- Kyai Pratali / disebut sebagai Pangeran Pesapen
- Pangeran Paningkan / disebut sebagai Pangeran Suka Sudo
- Kyai Pragalbo / disebut sebagai Pangeran Plakaran yg bertahta di Plakaran dan setelah wafat disebut sebagai Pangeran Islam Onggu'
Ia menikah dgn puteri Wonorono di Pamekasan karena itu ia jg menguasai Pamekasan jadi berarti Sampang dan Pamekasan bernaung dlm satu kerajaan, demikian pula sewaktu Nugeroho (Bonorogo) menggantikan ayahnya yg berkeraton di Pamekasan dua daerah itu masih di bawah satu kekuasaan.
Setelah kekuasaan Bonorogo, Sampang terpisah lagi dgn Pamekasan yg masing-masing dikuasai oleh Adipati Pamadekan (Sampang) dan Pamekasan dikuasai oleh Panembahan Ronggo Sukawati, keduanya adalah putera Bonorogo.
Kemudian Sampang diperintah oleh Pangeran Adipati Mertosari ialah cucu dari puteri Pramono putera dari Pangeran Suhra Jamburingin, demikianlah diceritakan bahwa memang menjadi kenyataan Kyai Demang banyak menurunkan Raja-Raja di Madura.
legenda jaka tarub
Jaka Tarub adalah salah satu cerita rakyat dari Jawa Tengah yg mengisahkan tentang kehidupan Ki Jaka Tarub yg setelah tua bergelar Ki Ageng Tarub, tokoh legendaris yg dianggap sebagai leluhur raja-raja Kesultanan Mataram, dari pihak putrinya, yaitu yg bernama Retno Nawangsih.
Suatu hari Jaka Tarub berangkat berburu di kawasan Gunung Keramat. Di gunung itu terdapat sebuah telaga tempat tujuh bidadari mandi.
Jaka Tarub mengambil selendang salah satu bidadari. Ketika 7 bidadari selesai mandi, enam dari tujuh bidadari tersebut kembali ke kahyangan. Sisanya yg satu orang bingung mencari selendangnya, karena tanpa itu ia tak mampu terbang.
Jaka Tarub muncul datang menolong. Bidadari yg bernama Dewi Nawangwulan itu bersedia ikut pulang ke rumahnya. Keduanya akhirnya menikah dan mendapatkan seorang putri bernama Dewi Nawangsih. Selama hidup berumah tangga, Nawangwulan selalu memakai kesaktiannya. Sebutir beras bisa dimasaknya menjadi sebakul nasi.
Suatu hari Jaka Tarub melanggar larangan Nawangwulan supaya tak membuka tutup penanak nasi. Akibatnya kesaktian Nawangwulan hilang. Sejak itu ia menanak nasi seperti umumnya wanita biasa. Maka, persediaan beras menjadi cepat habis. Ketika beras tinggal sedikit, Nawangwulan menemukan selendang pusakanya tersembunyi di dlm lumbung. Nawangwulan pun marah mengetahui kalau suaminya yg telah mencuri benda tersebut.
Jaka Tarub memohon istrinya untk tak kembali ke kahyangan. Namun tekad Nawangwulan sudah bulat. Hanya demi bayi Nawangsih ia rela turun ke bumi untk menyusui saja.
Pernikahan Nawangsih Jaka Tarub kemudian menjadi pemuka desa bergelar Ki Ageng Tarub, dan bersahabat dgn Prabu Brawijaya raja Majapahit. Pada suatu hari Brawijaya mengirimkan keris pusaka Kyai Mahesa Nular supaya dirawat oleh Ki Ageng Tarub. Utusan Brawijaya yg menyampaikan keris tersebut bernama Ki Buyut Masahar dan Bondan Kejawan, anak angkatnya. Ki Ageng Tarub mengetahui kalau Bondan Kejawan sebenarnya putra kandung Brawijaya. Maka, pemuda itu pun diminta agar tinggal bersama di desa Tarub.
Sejak saat itu Bondan Kejawan menjadi anak angkat Ki Ageng Tarub, dan diganti namanya menjadi Lembu Peteng. Ketika Nawangsih tumbuh dewasa, keduanya pun dinikahkan. Setelah Jaka Tarub meninggal dunia, Lembu Peteng alias Bondan Kejawan menggantikannya sebagai Ki Ageng Tarub yg baru dan bergelar Ki Ageng Tarub II. Nawangsih sendiri melahirkan seorang putra, yg setelah dewasa bernama Ki Getas Pandawa.
Ki Ageng Getas Pandawa kemudian memiliki putra bergelar Ki Ageng Sela, yg merupakan kakek buyut '''Panembahan Senapati''', pendiri Kesultanan Mataram.
sejarah singkat
Sangkala Memet yg terdapat di situs Sumur Dhaksan di Jalan Syuhadak Kelurahan Dalpenang menjadi prasasti yg pertama. Di situs itulah, ditemukan Candra Sangkala / angka tahun Saka (C,) yg berbunyi: Kudo Kalih Ngrangsang Ing Butho
Seorang ahli sansekerta menafsirkan, situs Sumur Dhaksan dibuat sekitar tahun 757 C, yg bertepatan dgn tahun 835 Masehi. Berarti, situs tersebut dibuat jauh sebelum berdirinya Dinasti Syailendra.
"Saat itu, di Sampang sudah ada komunitas masyarakat yg berstruktur dan memiliki padepokan agama Hindu-Budha," terangnya.
Berdasarkan penjelasan Direktorat Sejarah dan Kepurbakalaan Depdikbud RI, pd jaman itu padepokan tersebut merupakan tempat untk menggodok kerohanian masyarakat.
Prasasti kedua adalah Sangkala Memet pd situs Buju’ Nandi di Desa Kemoning, Kecamatan Kota Sampang. Pada prasasti tersebut, tertulis Negara Gata Bhuana Agong / 1301 C, yang bertepatan dgn tahun 1379 Masehi. Sangkala Memet tersebut diperkirakan bekas peninggalan padepokan Hindu-Budha.
Sedangkan prasasti yg ketiga adalah prasasti Bangsacara yg terletak di Kampung Madeggan, Kelurahan Polagan, Kota Sampang. Situs tersebut ditemukan di dasar umpak / candi belum jadi yg tertulis angka 1305 C, / bertepatan dgn tahun 1383 Masehi.
"Konon, di daerah ni jg sudah berdiri padepokan Hindu-Budha yg kebenaran berdirinya didukung oleh pitutur / legenda masyarakat setempat," terangnya.
Prasasti yg keempat adalah situs Pangeran Santo Merto yg merupakan paman Raden Praseno / Pangeran Cakraningrat I yg menjadi penguasa Madura Barat. Pada situs ini, terdapat tulisan Candra Sangkala bertuliskan huruf Hijaiyah tahun 1496 C, / tahun 1574 Masehi.
Sedangkan situs terakhir adalah Makam Rato Ebuh yg jg terletak di Kampung Madeggan. Di situs tersebut, tertulis angka tahun Saka dan tulisan berbunyi "Naga Kapaneh Titis Ing Midi" yg dibuat pd tahun 1545 C, / tahun 1624 Masehi yg kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Sampang.
Berangkat dari temuan prasasti dan situs itulah, akhirnya Pemkab Sampang menggelar Seminar Penentuan Hari Jadi Kabupaten Sampang. Yang diundang sebagai pembicara antara lain, peneliti sejarah dari Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta.
Kesimpulan seminar, situs Sumur Daksan, Buju’ Nandi, Bangsacara, dan Pangeran Santo Merto dinyatakan tak bisa dijadikan sebagai referensi. Alasannya, tak ada bukti / referensi kepustakaan otentik yg mendukung.
Khusus prasasti Pangeran Santo Merto, sebenarnya disertai bukti tulisan ahli sejarah asal Belanda, HJ De Graff. Tapi, tulisan tersebut dinyatakan tak representatif dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang.
"Setelah melalui adu argumentasi dan pengkajian ilmiah secara mendalam, akhirnya situs Makam Rato Ebuh yg ditetapkan sebagai acuan untk menentukan Hari Jadi Kabupaten Sampang," jelas Ali Daud Bey.
Dibandingkan referensi yg lain, situs Makam Rato Ebuh dilengkapi dan didukung dgn daftar kepustakaan hasil karya ahli sejarah Belanda HJ De Graff. Sehingga, sangat representatif dijadikan dasar penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang.
Dalam bukunya "De Op Komst Van R Trunojoyo" (1940), HJ De Graaf menyebutkan bahwa pd tanggal 12 Rabi’ul Awal 1039 Hijriyah yg bertepatan dgn 23 Desember 1624 Masehi, Raja Mataram saat itu Sultan Agung mengangkat dan menetapkan Raden Praseno yg bergelar Pangeran Cakraningrat I menjadi penguasa Madura Barat yg kerajaannya dipusatkan di Sampang.
De Graff menerangkan, dlm surat titahnya, Sultan Agung jg menegaskan bahwa Pangeran Cakraningrat I berhak menerima payung kebesaran kerajaan dan upeti sebesar 20 ribu Gulden.
Secara de jure maupun de facto, surat tersebut merupakan bukti otentik yg menjadi pride (kebanggaan) masyarakat Madura Barat yg cakupan kekuasaannya meliputi Sampang, Arosbaya, dan Bangkalan atas terpilihnya Raden Praseno sebagai Raja Madura Barat.
Saat itu, masyarakat Mataram ikut merayakan pengangkatan dan penetapan Pangeran Cakraningrat I dgn melakukan kegiatan Gebreg Maulid.
Sebenarnya, Pangeran Cakraningrat I adalah salah seorang tawanan Sultan Mataram saat berlangsungnya perang antara masyarakat Madura dgn Mataram. Tapi, Sultan Agung kemudian mengangkat Raden Praseno yg saat itu masih berumur 6 tahun sebagai anak asuhnya.
Setelah puluhan tahun dibesarkan di lingkungan keluarga Keraton Mataram, akhirnya Raden Praseno menjadi anak emas Sultan Agung dan dipercaya menjadi Raja Madura Barat pd tahun 1546 Saka / 1624 M.
Meskipun menjadi penguasa Madura Barat, Pangeran Cakraningrat I konon jarang berada di Sampang. Sebab, saat itu tenaganya sangat dibutuhkan Sultan Agung untk mengawal Kerajaan Mataram. Praktis, jalannya roda pemerintahan di Kerajaan Madura Barat seringkali diwakilkan kepada pamannya, Pangeran Santo Merto.
Beberapa tahun kemudian, Pangeran Cakraningrat I dan putranya Pangeran Mloyo Kusumo / Raden Maluyo akhirnya mangkat di medan perang saat berusaha menghentikan pemberontakan Pangeran Pekik yg merongrong kepemimpinan Sultan Agung.
Jasad Pangeran Cakraningrat I kemudian dikebumikan di makam raja-raja Mataram di Imogiri, Jawa Tengah. Perang saudara tersebut akhirnya melengserkan tahta kekuasaan Sultan Agung. Setelah itu, mahkota Kerajaan Mataram diserahkan kepada Sultan Amangkurat.
Peralihan kekuasaan dari Sultan Agung kepada Sultan Amangkurat ini, berimbas pd jalannya roda pemerintahan di Kerajaan Madura Barat. Mahkota kerajaan yg seharusnya diserahkan kepada Raden Nila Prawita / Pangeran Trunojoyo, justru diserahkan kepada Pangeran Cakraningrat II.
Karena tak terima dgn keputusan Raja Mataram Sultan Amangkurat, Pangeran Trunojoyo akhirnya melakukan pemberontakan. Konon, kepemimpinan Pangeran Cakraningrat II ni dilakukan secara sewenang-wenang, korup, dan bejat.
Merasa tak aman dgn ancaman dan pemberontakan Pangeran Trunojoyo, akhirnya pusat Kerajaan Madura Barat dipindah dari Madeggan di Sampang ke daerah Kwanyar, Bangkalan. Beberapa saat kemudian, tahta kerajaan dipindah lagi ke daerah Arosbaya, Bangkalan.
Kegigihan perjuangan Pangeran Trunojoyo akhirnya membuahkan hasil. Tidak hanya Kerajaan Madura Barat saja yg berhasil digulingkan. Tapi, tahta Kerajaan Mataram pun akhirnya berhasil direbut.
Meskipun berhasil melengserkan kekuasaan Sultan Amangkurat sebagai Raja Mataram, tapi Pangeran Trunojoyo menolak menjadi penguasa dan menduduki singgasana Kerajaan Mataram. Yang dia inginkan, hanyalah menjadi penguasa Kerajaan Madura Barat. Akhirnya, Pangeran Trunojoyo resmi dinobatkan menjadi Raja Madura Barat dgn gelar Panembahan Maduretno.
Walaupun menolak menduduki tahta Kerajaan Mataram, Panembahan Maduretno tetap membawa mahkota Kerajaan Mataram. Dia menolak menyerahkan simbol kekuasaan Kerajaan Mataram, selama Sultan Amangkurat tak bersedia memutuskan kerjasama dgn Belanda. Setelah tuntutan itu dipenuhi, akhirnya mahkota Kerajaan Mataram pun dikembalikan.
Selama menjadi penguasa Kerajaan Madura Barat, Pangeran Trunojoyo meninggalkan monumen bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Sampang. Diantaranya adalah Monumen Trunojoyo yg dijadikan sebagai pusat latihan kelaskaran prajurit Kerajaan Madura Barat.
Sampai saat ini, Monumen Pebabaran sebagai tempat kelahiran Pangeran Trunojoyo yg terlokasi di Jalan Pahlawan Gg VIII Kota Sampang masih terawat dgn baik. Menurut legenda masyarakat setempat, di lokasi inilah ari-ari pahlawan rakyat Madura tersebut ditanam oleh kedua orangtuanya
geografis
Kabupaten Sampang secara administrasi terletak dlm wilayah Propinsi Jawa Timur yg secara geografis terletak di antara 113o 08’ - 113o 39’ Bujur Timur dan 6o 05’ - 7o 13’ Lintang Selatan. Kabupaten Sampang terletak ± 100 Km dari Surabaya, dpt dgn melalui Jembatan Suramadu kira-kira 1,5 jam / dgn perjalanan laut kurang lebih 45 menit dilanjutkan dgn perjalanan darat ± 2 jam.
pariwisata
- Pulau Mandangin
- Pantai Camplong
- Kuburan Madegan
- Waduk Klampis Desa Kramat kecamatan Kedungdung
- Air terjun Toroan
- Rimba monyet - Nepa Raden segoro
- Reruntuhan Pababaran
- Pemandian Sumber Otok
- Wisata Alam Goa Lebar
- Monumen Sampang
- Situs Pababaran Trunojoyo
- Situs Ratoh Ebuh
- Sumur Daksan
- Situs Makam Pangeran Santo Merto
- Situs Makam Bangsacara dan Ragapatmi
- Situs Makam Sayyid Ustman Bin Ali Bin Abdillah Al-Habsyi
Nasi jagung (nasek empog) Hmmm... Sepertinya enyak ^^
Terdiri dari nasi putih yg dicampur dgn biji jagung yg telah dimasak bersama-sama.
Nasi Kobel
Nasi dgn lauk ikan laut, tahu, sambel kelapa, dan sambel khas Madura "buje cabbih"
Bebek Songkem
Konon masyarakat kota Sampang dgn notabene menjunjung dan menghormati Kyai, selalu membawa oleh - oleh bila hendak ke rumah sang Kyai untk songkeman. Maka jadilah masakan bebek yg mereka bawa disebut bebek songkem.
Rujak cingur khas Sampang
Saat googling tentang kulineran khas Sampang, saya menemukan situs yg berisi macam2 rujak
Rujak sudah mengalami tingkat evolusi dan modifikasi dari tahun ke tahun jadinya tiap daerah memiliki ciri khas dan rasa yg berbeda - beda pula. Nah untk Rujak Khas Sampang sendiri memiliki jenis dan suguhan yg berbeda - beda pula, ada sekitar 5 (Lima Jenis) Jenis rujak di Kota Sampang yaitu :
RUJAK CINGUR
Rujak cingur ni sama dgn rujak cingur pd umumnya hanya saja rujak ni memiliki rasa dan bumbu yg agak sedikit kasar tapi soal rasa bisa tak kalah dgn penganan rujak di seluruh indonesia, yg menambah nikmat rasanya adalah cingur - cingur olahan khusus yg empuk dan kerupuk singkong khas madura yg gurih, disajikan dgn rasa yg pedas dan minuman dingin mantaaaf..... soal harga andapun tak perlu merogoh kocek terlalu dlm cukup dgn lima ribu rupiah untk rasa yg eksotik dan tentunya jadi pengalaman baru bagi lidah anda.
RUJAK COLEK
Ini bukan penganan genit yg pernah anda dengar, namanya rujak colek / dlm bahasa Madura adalah
" Dhulit " kenapa masyarakat disini menyebutnya demikian karena biasanya bagi sebagian para penjual setelah bumbu selesai di buat biasanya mencoleknya dgn irisan mentimun untk mengetes rasa yg diinginkan oleh pembeli, sebagian orang jg mengatakan dikarenakan cara makan rujak ni dahulu dgn mencolek bumbunya menggunakan irisan buah. Rujak ni berbeda dgn rujak pd umumnya, rujak ni tak menggunakan bumbu lengkap seperti halnya rujak cingur, hanya menggunakan petis, bumbu penyedap dan ada tambahan tomat isinya pun tanpa lontong hanya buah - buahan, sayur, cingur dan kerupuk singkong. Rasanya lebih Sangar dari rujak cingur apalagi bagi kalian penyuka makanan pedas.
RUJAK COREG
Rujak ni bisa dikatakan rujak unik dan mungkin hanya ada di Kota Sampang, namanya rujak Coreg / dlm bahasa indonesia mengorek / mengeluarkan isinya. Dinamakan rujak coreg karena Bahannya hanya menggunakan mentimun yg di keluarkan isinya dgn cara menggunakan potongan bambu yg telah dihaluskan, bumbunya hanya menggunakan petis, garam dan cabe kemudian mengisinya kembali bumbu yg telah jadi kedalam mentimun, bisa kebayang bagaimana cara anda memakannya.....penasaran ??? jika anda sedang berkunjung ke Kota Sampang silahkan mencobanya.
RUJAK GUNUNG / RUJAK DESA
Dinamakan rujak Gunung / rujak Desa karena kebanyakan para penjualnya berasal dari desa dan perbukitan di sekitar kota Sampang, rujak ni lebih simpel lagi dari rujak cingur hanya berisi sayuran dari buah pepaya muda yg di godok dan lontong untk bumbunya sendiripun tak terlalu lengkap seperti rujak cingur dan biasanya kebanyakan dihidangkan dgn nasi jagung.
RUJAK CAMPUR
Rujak ni hanya ada di beberapa daerah pedesaan di Kota Sampang, olahannya sama dgn rujak pd umumnya kemudian ada tambahan mie dan kuah dari Lontong mie yg disiramkan di atas rujak dan ada tambahan bumbu dari petis yg dicairkan rujak ni tak terlalu diminati oleh sebagian masyarakat mungkin karena selain rujaknya berkuah dan rasanya sedikit asing.
sumber oryza-bitha,wikipedia
source : http://sraksruk.blogspot.com, http://pinterest.com, http://okezone.com
No comments:
Post a Comment